Pembelajaran untuk Mengembangkan Kecerdasan Majemuk
nwnavigator.com |
Tuntutan orang
tua menyebabkan sekolah juga berusaha agar siswa-siswanya lulus dengan nilai
yang bagus. Sehingga pembelajaran di kelas pun bertujuan hanya untuk mengejar
nilai ulangan harian, ulangan semester, dan ujian nasional yang bagus. Guru
harus menyelesaikan materi tepat
pada waktunya dan memberikan
soal-soal latihan agar nilai
ulangan dan ujiannya bagus. Hal terpenting dalam pembelajaran adalah
siswa menguasai materi walaupun hanya sekedar hafalan (kognitif) dan bisa
mengerjakan soal ujian. Pembelajaran yang dominan adalah dengan metode
ceramah dan latihan soal. Sehingga hanya kecerdasan akademik, yaitu kecerdasan logika matematika dan bahasa
yang berkembang. Hal ini juga
didukung oleh kenyataan bahwa kebanyakan guru menonjol dalam kecerdasan logika
matematika dan bahasa, sehingga mengajarnya pun sesuai dengan kecerdasannya
yang menonjol. Padahal menurut Gardner, manusia mempunyai sembilan kecerdasan. Anak-anak telah menjadi korban kebanggan semu
orang tua dan sekolah.
Berdasarkan hasil penelitian Howard Gardner,
seorang ahli psikologi perkembangan dan profesor pendidikan dari Graduate
School of Education, Harvard University, Amerika Serikat ditemukan ada sembilan
kecerdasan yang disebut kecerdasan majemuk, yaitu kecerdasan bahasa (linguistic intelligence), kecerdasan logika
matematika (logical-mathematical
intelligence), kecerdasan musikal (musical
intelligence), kecerdasan kinestesis tubuh (bodily-kinesthetic intelligence), kecerdasan spasial (spatial intelligence), kecerdasan naturalis
(naturalist intelligence), kecerdasan
interpersonal (interpersonal intelligence),
kecerdasan intrapersonal (intrapersonal
intelligence), dan kecerdasan eksistensial (existential intelligence). Setiap anak mempunyai sembilan kecerdasan
ini, akan tetapi yang menonjol hanya beberapa kecerdasan saja. Sehingga dapat
diyakini bahwa semua anak mempunyai kelebihan masing-masing tergantung
kecerdasannya yang menonjol.
Banyak contoh tokoh-tokoh yang sukses dalam hidup
berdasarkan pengembangan kecerdasan mereka yang paling menonjol. B. J. Habibie
merupakan contoh tokoh yang sukses dengan kecerdasan logika matematika dengan
ilmunya dalam bidang teknologi pesawat. K.H. Zainuddin MZ sukses dengan
kecerdasan bahasanya, yaitu ceramah-ceramahnya yang begitu menarik audiens.
Demikian juga Andrea Hirata yang sukses dengan kecerdasan bahasa melalui karya
novel Laskar Pelangi dan tetraloginya. Iwan Fals adalah tokoh yang sukses
dengan kecerdasan musiknya. Petinju Cris John sukses menjadi juara dunia dan kehebatan
Bambang Pamungkas dalam menendang bola dengan kecerdasan kinestesis tubuh.
Demikian juga Didik Nini Thowok sukses menari ke berbagai penjuru dunia dengan
kecerdasan kinestesis tubuhnya. Pelukis Affandi sukses dengan kecerdasan
spasialnya. Panji Sang Petualang sukses bisa bersahabat dengan berbagai hewan
di alam bebas dengan kecerdasan naturalisnya. Mario Teguh, seorang motivator
hebat adalah tokoh yang sukses dengan kecerdasan interpersonalnya. Sedangkan Romo
Mangun sukses dengan kecerdasan intrapersonalnya.
Dengan demikian, seharusnya tidak hanya kecerdasan
logika matematika dan bahasa saja yang dikembangkan di sekolah, tetapi semua
kecerdasan harus diperhatikan dan dikembangkan dalam pembelajaran. Karena
kesuksesan siswa di dunia nyata tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan logika
matematika dan bahasa saja tetapi juga kecerdasan lainnya.
Gardner mendefinisikan kecerdasan sebagai
kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu seting
yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata. Berdasarkan pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa kecerdasan itu baru bisa dilihat jika seseorang berhasil
mengatasi persoalan nyata dalam kehidupan sehari-hari atau bisa menciptakan
suatu produk berdasarkan permasalahan yang terjadi. Sehingga suatu kecerdasan tidaklah
tepat jika hanya dilihat dari hasil pengerjaan soal-soal tes dalam sebuah
ruangan ujian.
Teori kecerdasan majemuk telah mengilhami banyak
sekolah yang berusaha memberikan pelayanan terbaik kepada siswa-siswanya di
seluruh belahan dunia termasuk di Amerika Serikat dan Indonesia. Di Amerika
Serikat sekolah yang terkenal dengan pengembangan kecerdasan majemuk adalah Key
School di Indianapolis, Indiana, Fuller School di Gloucester, Massachusetts,
dan New City School di St. Louis, Missouri. Sedangkan di Indonesia sekolah yang
mengembangkan kecerdasan majemuk salah satunya adalah SMA Plus Muthahhari di
Bandung. Berikut ini adalah beberapa pengalaman pembelajaran yang memperhatikan
kecerdasan majemuk di SMA Plus Muthahhari seperti yang diceritakan oleh kepala
sekolahnya, Jalaluddin Rakhmat dalam pengantar buku karangan Thomas R. Hoerr
dalam terjemahan berbahasa Indonesia dengan judul “Buku Kerja Multiple
Intelligences, Pengalaman New City School”.
Pengalaman yang pertama adalah tentang seorang
siswa yang bernama Rasyid. Rasyid sudah mendatangi berbagai sekolah dan gagal.
Orang tuanya sangat bahagia bahwa akhirnya Rasyid bisa masuk ke kelas tiga di
SMA Plus Muthahhari. Beberapa bulan pertama pada semester pertama, penyakit
Rasyid “kumat” lagi. Dia sering bolos atau meninggalkan kelas sebelum waktunya.
Setelah beberapa kali sekolah menurunkan “eska” (surat peringatan), Rasyid
memutuskan mogok sekolah. Kami menyelenggarakan sidang kasus Rasyid dalam rapat
guru. Kami menemukan bahwa, untuk kesekian kalinya, sekolah menjadi tempat yang
paling membosankan baginya. Orang tuanya menginginkan anaknya masuk Fakultas
Kedokteran. Dia lebih tertarik pada arsitektur. Dia merasa, banyak pelajaran di
kelas tidak ada kaitannya dengan cita-citanya. Sesuai dengan special treatment for special people,
sebuah metode pembelajaran yang kami gunakan khusus untuk anak-anak “istimewa”,
kami melepaskan Rasyid dari kewajiban masuk sekolah seperti anak-anak lainnya. Kami
menyebutnya, “Rasyid di-off-kan.
Karena sudah berada di kelas tiga, dia hanya diharuskan “berlatih” dalam
pelajaran yang ada dalam ujian nasional. Kami mengatur jadwal khusus baginya,
di sekolah dan di rumahnya. Akhirnya, dia lulus ujian SMA. Kini, dia belajar
dengan penuh semangat sebagai mahasiswa arsitektur di sebuah universitas di
Malaysia.
Pengalaman kedua dialami oleh Dani. Berkali-kali
dia meninggalkan kelas. Berulang-ulang orang tuanya kami panggil. Dia berasal
dari Jakarta. Sejak di SMP, dia tertarik pada fotografi. Bahkan dia pernah
memenangi perlombaan fotografi tingkat nasional. Mengambil gambar lebih menarik
perhatiannya ketimbang duduk di kelas. Kami off-kan
dia dari pelajaran-pelajaran lainnya selain mata pelajaran yang
diujian-nasionalkan. Kami memberi kesempatan baginya untuk mengembangkan kemampuan
fotografinya. Singkat cerita, dia lulus dari SMA dengan nilai pas-pasan.
Sebagai fotografer dari agen berita internasional, sekarang dia memperoleh
penghasilan yang jauh lebih tinggi daripada gurunya.
Kedua pengalaman di atas menunjukkan bahwa Rasyid
dan Dani merupakan anak yang mempunyai kecerdasan spasial yang menonjol. Ketika
kecerdasan yang menonjol tersebut dikembangkan, Rasyid dan Dani merasa senang
dalam belajar dan bisa sukses dengan bidang yang ditekuninya.
Pengalaman yang ketiga dari SMA Muthahhari Plus
seperti yang diceritakan Jalaluddin Rahmat, adalah tentang Raja. Raja sangat
pasif, pendiam, tanpa emosi, tanpa gairah apapun. Ketika anak-anak lain sudah
menyelesaikan jawaban tes, dia masih menulis soal-soal tes. Dengan alat ukur
yang ada pada kami waktu itu, kami berusaha mengidentifikasi kecerdasannya. Dia
lemah dalam semua kecerdasan. Mungkinkah Raja austistik? Kami tidak tahu. Para
guru sepakat untuk, paling tidak, mengembangkan kecerdasan interpersonalnya.
Pada permainan bulutangkis, Pak Cucu men-smash
dia sangat keras. Dahinya benjol. Tapi dia bergeming. Dia tidak menjerit.
Dengan tenang dia mengambil bola dan meneruskan permainan. Akhirnya, kami
bekerja sama dengan murid-murid lainnya. Kami mengangkat dia menjadi pemimpin
kelompok. Kami meminta murid-murid dalam kelompoknya untuk memperhatikan dan
mengapresiasi apa pun yang dia lakukan. Pada malam perpisahan, saya menyaksikan
Raja menyampaikan sambutan sebagai ketua panitia. Saya mendengarkannya dengan
penuh takjub, setelah sebelumnya saya terpesona dengan kemajuan akademisnya.
Ketika saya meninggalkan ruang acara, hampir jam sebelas malam, di depan saya
berdiri seorang lelaki tinggi. Tampaknya dia sudah lama menunggu saya di situ.
Begitu melihat saya, dia memeluk saya erat-erat. Dia menggumamkan “terima
kasih” dalam isakan tangis. Lelaki itu ayah Raja.
Pengalaman yang keempat adalah tentang seorang
anak yang dikirim ayahnya dari Makassar karena dalam bidang matematika dia
lebih rendah dari kakaknya. Dia mengajukan syarat untuk kepergiannya ke
Bandung: harus diberikan gitar. Di SMA Plus Muthahhari, dia mengembangkan
kecerdasan musikalnya. Beberapa lagu telah dia ciptakan. Dia berhasil mencapai
posisi “top student” pada ujian nasional dengan nilai matematika tertinggi;
lebih tinggi daripada kakaknya yang tetap tinggal di kota kelahirannya.
Pengalaman yang kelima adalah tentang seorang anak
yang menjadi “problem student” bukan saja di sekolah kami, juga di
sekolah-sekolah sebelumnya. Dia anak kinestetik. Dia hanya bisa belajar dengan
bergerak. Dia mudah mempelajari pelajaran-pelajaran yang melibatkan
gerakan-gerakan tubuh-olahraga, silat, teater, dan sebagainya. Ketika dia
menjadi murid SD, ibunya membekalinya dengan seikat pensil. Dia bisa belajar
baik dengan mematah-matahkan pensil. Dengan memperhatikan keistimewaannya, kami
mengantarkannya sampai lulus ujian. Dia kini belajar di akademi perhotelan dan
pernah memperoleh penghargaan dalam memasak.
Pengalaman ketiga sampai kelima menunjukkan bahwa
pengembangan kecerdasan yang menonjol, yaitu kecerdasan interpesonal,
kecerdasan musikal, dan kecerdasan kinestesis tubuh bisa mengembangkan
kecerdasan akademiknya, yaitu kecerdasan matematika dan kecerdasan bahasa.
Dari pengalaman keberhasilan SMA Plus Muthahhari
dalam menerapkan pembelajaran yang mengembangkan kecerdasan majemuk tersebut,
sudah seharusnya sekolah-sekolah lainnya juga bisa melaksananakan pembelajaran
yang memperhatikan dan mengembangkan kecerdasan majemuk.
Pengembangan kecerdasan majemuk bukan berarti
harus merubah kurikulum tetapi memang perlu dimodifikasi agar bisa memenuhi
kebutuhan siswa yang mempunyai kecerdasan menonjol yang berbeda-beda.
Modifikasi kurikulum yang harus dilakukan adalah dalam hal metode pembelajaran,
materi atau topik pelajaran, sumber belajar, dan evaluasinya.
Dalam hal metode pembelajaran yang perlu
diperhatikan adalah tempat pembelajaran, cara guru mengajar, dan kegiatan siswa
dalam pembelajaran. Tempat belajar yang mampu mengembangkan kecerdasan majemuk
tidaklah cukup di kelas, tetapi perlu juga di luar kelas seperti di kebun, di
hutan, di pasar, dan lain-lain. Cara guru mengajar yang bisa mengembangkan
kecerdasan majemuk adalah yang berbagai macam model sesuai dengan materi dan
kecerdasan yang menonjol pada siswa. Tidak hanya dengan ceramah dan latihan
soal seperti yang telah menjadi kebiasaan kebanyakan guru, tetapi juga model
lainnya. Model guru mengajar yang dapat dilakukan antara lain dengan
menggunakan musik atau lagu untuk mengembangkan kecerdasan musikal,
memanfaatkan film atau gambar untuk mengembangkan kecerdasan spasial, diskusi
kelompok untuk mengambangkan kecerdasan interpersonal, percobaan di
laboratorium untuk mengembangkan kecerdasan kinestesis tubuh, memberi
kesempatan siswa berrefleksi untuk mengembangkan kecerdasan intrapersonal,
mengamati berbagai tumbuhan di kebun untuk mengembangkan kecerdasan naturalis,
dan memberi kesempatan siswa untuk merenungkan tentang manfaat materi yang
dipelajari untuk mengembangkan kecerdasan eksistensial. Sedangkan kegiatan
siswa dalam pembelajaran yang harus disesuaikan adalah dengan memberi
kesempatan siswa mengembangkan kecerdasan yang menonjol.
Materi pelajaran sebaiknya dalam bentuk
topik-topik tematik, bukan urutan daftar bab seperti pada model kurikulum
klasik. Bentuk topik tematik memungkinkan pembelajaran dengan pendekatan
berbagai macam bidang keilmuan. Misalnya dalam mempelajari topik air, dapat
dilakukan pendekatan ilmu fisika, sosial, ekonomi, dan politik.
Sumber belajar yang dapat mengembangkan kecerdasan
majemuk harus tersedia, misalnya buku-buku yang juga berisi materi dan
ilustrasi berdasarkan kecerdasan majemuk, kebun sekolah, laboratorium, ruang
multimedia, model-model tiruan atau alat peraga, alat musik, perlengkapan oleh
raga dan tari, dan lain sebagainya.
Karena model-model dan metode pembelajaran
bermacam-macam untuk mengembangkan kecerdasan majemuk, maka evaluasinya pun
bermacam-macam. Evaluasi proses dalam pembelajaran yang menilai kinerja siswa
tentu saja lebih ditekankan daripada evaluasi tertulis. Evaluasi yang dapat
dilakukan antara lain adalah dengan portofolio, keaktifan dalam diskusi,
kinerja saat praktikum, hasil kerja proyek, dan tes tertulis. Portofolio
merupakan kumpulan semua dokumen yang dihasilkan selama proses pembelajaran,
misalnya ulangan harian, ulangan semester, tugas, karya, piagam, hasil
wawancara, hasil pengamatan keaktifan di kelas, dan sebagainya. Keaktifan dalam
diskusi merupakan hasil pengamatan guru dan siswa lain ketika pembelajaran
dengan diskusi kelompok atau diskusi kelas. Kinerja saat praktikun merupakan
hasil pengamatan guru terhadap kemampuan siswa dalam mempraktikkan suatu materi
baik di laboratoriuym maupun di lapangan. Hasil kerja proyek merupakan tugas
secara berkelompok yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama, misalnya proyek
pembuatan kliping tentang bencana alam di Indonesia. Sedangkan dalam tes
tertulis soal harus bervariasi dan menyertakan kecerdasan majemuk.
Dalam pembelajaran yang mengembangkan kecerdasan
majemuk pada intinya menghargai kemampuan siswa dan berusaha mengembangkannya.
Karena kemampuan siswa berbeda-beda, maka pendekatan individu sangat penting
dilakukan dengan menggunakan bermacam-macam model dan metode pembelajaran yang
sesuai dengan kecerdasan siswa yang menonjol. Hal yang penting juga diingat
bahwa tidak harus dalam setiap pembelajaran mengembangkan semua jenis
kecerdasan, tetapi disesuaikan dengan materi dan kecerdasan siswa yang
menonjol.
Daftar Pustaka
Hoerr, Thomas R. 2007. Buku Kerja
Multiple Intelligences, Pengalaman di New City School. Bandung: Kaifa
Suparno, Paul. 2004. Teori
Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius
0 comments:
Posting Komentar